Kontributor: Juhriyanto / juhriyanto@gmail.com
--------------------------------------------------------------------------------
Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau
sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat
pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang
yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan
bagi orang yang berpegang teguh kepadamadzab-madzab dan perkataan-perkataan
mereka, sebagaimana kalau madzabmadzab dan perkataan-perkataan itu turun dari
langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". (QS.
Al-Araf :3)
I. ABU
HANIFAH
Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah
An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan
ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban
untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang
bertentangan dengannya.
1.
"Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku." (Ibnu
Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63).
2.
"Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami,
selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya". (Ibnu Abdil Barr
di dalam Al- Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145).
3.
Dalam sebuah riwayat dikatakan: "Adalah haram bagi orang yang tidak
mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku".
4. Di
dalam sebuah riwayat ditambahkan: "sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan
perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari".
5.
"Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah
dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah
perkataanku". (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50).
II.
MALIK BIN ANAS
Imam
Malik berkata:
1. "Sesungguhnya aku ini hanyalah
seorang manusia yang salah dan benar. Maka
perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat
yang sesuai dengan kitab dan sunnah,
ambillah dan setiap yang tidak sesuai
dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah".
(Ibnu
Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32).
2.
"Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali
dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi
Salallhu Alaihi Wasallam". (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik,
1/227).
3. Ibnu
Wahab berkata, "Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang
menyelangnyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, "tidak ada hal
itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia
berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di
dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan
Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman
Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada
kami, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua
kakinya. Maka dia berkata, "sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku
mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya,
lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu
wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33).
III.
ASY-SYAFII
Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di
dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih
banyak mengamalkannya. Diantaranya:
1.
"Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah
Rasulullah dan menyendiri dengannya. Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan
kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang
bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku." (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3).
2.
"Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya
karena untuk mengikuti perkataan seseorang." (Ibnul Qayyim,2/361, dan
Al-Fulani, hal. 68).
3.
"Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah
Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan." Al-Harawi
di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1).
4.
"Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi di
dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57).
5.
"kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan
orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia
kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam,
sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya." ( Al-Khathib di
dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1).
6.
"Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi
Wasallamadalah shahih bagi ahli naqli
dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam
hidupku dan setelah aku mati." (Al-Harawi, 47/1).
7.
"Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist
Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku
telah bermadzhab dengannya." (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash
Al-Muaddab).
8.
Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat
hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah
lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku." (Aibnu Asakir, 15/9/2).
IV.
AHMAD BIN HAMBAL
Imam Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak
mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci
penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena
itu ia berkata:
1.
"Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik,
Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil."
(Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302).
2.
"Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat,
dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar."
(Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149).
3.
"Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam,
maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzi, 182).
Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya" (An-Nisa:65), dan firman-Nya: "Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
adzab yang pedih." (An-Nur:63).
Al-Hafizh Ibnu
Rajab berkata: "Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah
sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya
untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada
mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan
pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah
salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti
dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan
perintahnya
di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang
setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan
barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini. Namun demikian,
mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati
mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih
dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh
karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka
perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidakdihalang-
halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya,
walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci
apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah
itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu,
sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah
mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan
dengan sunnah."
(Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu
Shalatiin Nabii SAW, karya Al-Imam Al-
Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani
-rahimahullah).