Meskipun nama sufi dan tasawuf
belum dikenal orang dalam abad Islam pertama, karena nama tasawuf baru dipakai
setelah dua atau tiga generasi Islam, namun secara fenomenologi ia telah ada
sejak generasi pertama. Abu Hasan Fusyanja mengatakan:
“Tasawuf
pada masa sekarang adalah sebuah nama tanpa hakikat, tetapi semula ia adalah
suatu hakikat tanpa nama”.
Al-Hujwiri menafsirkan
pernyataan ini dengan berkata “dimasa sahabat Nabi dan Tabi’in, nama
tasawuf belum muncul namun realitanya ada pada setiap orang. Tetapi sekarang
nama itu muncul, namun tidak dalam kenyataannya”. Lebih jauh lagi akar tasawuf
dapat ditemui pada praktek-praktek spiritual dimasa sebelum Islam yang telah
dikenal oleh para petapa yang tersebar di tanah Arab dan dikenal sebagai
Hunafa’, dan Rasulullah SAW menjadi wakil dari praktek mistikisme peninggalan
leluhurnya, Nabi Ibrahim dan Ismail A.s. pada salah satu penyendiriannya
(tahannuts) di gua hira’ beliau menerima wahyu al-Quran yang pertama. Dengan
demikian kehidupan sufi sudah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan
sahabatnya.
Terdapat banyak contoh amaliah
sufi yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya bahkan sebelum
diangkat menjadi Rasul. Ini membuktikan bahwa ajaran tasawuf bukan merupakan
adopsi dari ajaran diluar Islam, bahkan Buya Hamka mengatakan “tasawuf Islam
telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa
pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad S.A.W. disauk airnya
dari dalam al-Quran sendiri”.
Kehidupan Nabi Muhammad S.A.W. dalam kesehariannya adalah
kehidupan sufi yang murni dan menjadi inti dari kehidupan Islam yang
sebenarnya. Secara totalitas dari kehidupan Nabi S.A.W. tersebut
menjadi contoh tauladan bagi siapa saja yang menginginkan kehidupan sejahtera
lahir dan batin serta selamat di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu segala
perilaku, perbuatan dan perkataan beliau menjadi landasan amaliah para sahabat
dan kaum sufi yang hidup sesudahnya.
Diantara praktek amaliah sufi
yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. adalah sebagai berikut;
1. Khalwat sebagai
upaya membersihkan hati
Khalwat yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW di Gua Hira’ merupakan bukti nyata amaliah sufi yang beliau
lakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kesucian jiwa (tahannuts) dari
pertualangannya di alam fana ini kealam lahut tempat dimana seluruh arwah
berasal. Bertahun-tahun lamanya beliau menyendiri beruzlah dan berkhalwat siang
dan malam sendirian di Gua Hira’ dengan berbekal makanan seadanya. Beliau duduk
tafakkur berdzikir kepada Allah dengan sempurna sehingga terputus hubungannya
dengan apa dan siapa kecuali hanya kepada Allah saja.
Beliau lepaskan keterpautan
hatinya dengan dunia, hawa dan nafsu dengan tujuan untuk membersihkan hati dan
memerdekakan ruhani dari kekotoran dan keterikatannya dengan dunia ini. Ini terbukti
dengan kebersihan hati yang sampai pada kesempurnaan jiwanya,
Nabi S.A.W. mampu menerima kalam Ilahy yang Maha Suci pertama kalinya
berupa perintah kepada beliau untuk terus menerus membaca nama Allah yang telah
menjadikan manusia dari segumpal darah (‘alaqah). Dia pula yang mengajar
manusia apa yang sudah dan belum diketahuinya.
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S :
al-‘Alaq : 1 – 4)
Muhammad S.A.W. sebagai
contoh (Uswatun Hasanah) bagi manusia secara keseluruhan, mengaplikasikan
perintah tersebut dalam kehidupannya terutama semenjak beliau menerima perintah
itu, yaitu membaca segala sesuatu yang ada di alam ini atas nama Allah
karenanya sejak itu pula beliau mulai berperan sebagai Rasul Allah. Artinya
semua perbuatan, perkataan, tingkah laku, dan budi pekertinya menjadi pantulan
cahaya secara langsung dari Allah SWT.
2. Hidup sederhana
Hidup sederhana merupakan
bagian dari kehidupan Nabi S.A.W. walaupun sebelum dan sesudah diangkat
Rasul kemudian Hijrah ke Madinah perbendaharaan dunia ada di tangan beliau,
namun ia tetap hidup sederhana dalam rangka mengeratkan tali pengikat
hubungannya dengan Allah, karena kesederhanaannya itu Jibril A.s. pun terharu
melihatnya. Jibril datang menjumpai Nabi dan menyampaikan tawaran Allah
kepadanya; Ya Muhammad ! manakah yang kau sukai, menjadi Nabi yang kaya raya
seperti Nabi Sulaiman, atau menjadi nabi yang miskin seperti nabi Ayub ?.
Muhammad SAW menjawab; “Aku lebih suka kenyang sehari, lapar sehari. Jika
kenyang aku bersyukur kepada Allah, dan jika lapar aku bersabar atas cobaan
tuhanku”.
Bukti kesederhanaan beliau
terlihat pula ketika pada suatu hari beliau tidur dengan beralaskan sehelai
tikar yang teranyam dari daun kurma, separuh tikar itu untuk alas punggungnya,
dan separoh lagi ditarik untuk selimut, ketika beliau bangun terlihat jelas
anyaman tikar itu membekas dipunggung dan pipinya. Ibnu Mas’ud seorang shahabat
terdekat dengan beliau menyaksikan langsung kejadian itu dengan linangan air
mata jatuh membasahi pipi terisak menangis, karena nabi yang mulia dan agung,
dimuliakan Allah, dihormati oleh seluruh makhluk yang ada di bumi dan di langit,
yang bila beliau mau Allah akan mengabulkan dengan segera apa saja yang beliau
minta, ternyata beliau hidup sangat sederhana, namun beliau tidak pernah
mengeluh walau sedikitpun atas kesederhanaannya itu. Dengan perasaan haru,
bibir gemetar, airmata bercucuran, Ibnu Mas’ud berkata kepada Rasul; Ya
Rasulullah, izinkan saya mengambil sebuah bantal untuk alas kepalamu agar tidak
terasa sakit. Rasul menatap wajah Ibnu Mas’ud seraya berkata; Tidak ada hajatku
untuk itu wahai sahabatku. Aku ini laksana seorang musafir diperjalanan
ditengah padang pasir yang luas dengan terik mentari yang panas, aku singgah
sesaat disebuah pohon kayu nan rindang, aku rebahkan tubuhku sekedar melepas
lelah untuk kemudian meneruskan perjalananku yang panjang menuju Tuhanku.
Hidup didunia ini
diibaratkannya sebagai perjalanan yang panjang untuk menuju Allah. Kesempatan
untuk menempuh perjalanan tersebut perlu digunakan dengan maksimal, sebab waktu
yang tersedia sangat terbatas. Bahkan beliau menyarankan kepada para sahabatnya
sekaligus untuk ummatnya agar menjadikan dunia ini sebagai tempat persinggahan
sementara, dan menggunakan segala kesempatan untuk mencari bekal dalam
perjalanan menuju Allah. Nabi bersabda; yang artinya: Mujahid meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata; Ketika
Rasulullah S.A.W. memegang badanku beliau berkata; jadilah kamu di dunia ini
seperti orang pendatang atau seorang perantau, dan siapkanlah dirimu untuk
masuk kedalam kubur. Kemudian Mujahid berkata; Ibnu Umar berujar kepadaku, bila
kamu berada pada waktu pagi, janganlah kamu mengira dirimu akan sampai petang,
dan bila kamu berada pada waktu petang janganlah kamu mengira akan sampai pagi
lagi. Oleh karena itu pergunakanlah sehatmu sebelum datang waktu sakit, hidupmu
sebelum mati sebab kamu tidak tahu wahai Abdullah, apa namamu besok hari – apa
masih manusia hidup atau sudah menjadi mayat – (H.R. Turmudzi).
Pola kesederhanaan Rasulullah
SAW bukan saja diperaktekkan oleh diri beliau secara individu, tetapi beliau
terapkan dalam kehidupan keluarganya. Hampir semua pengarang yang menulis
sejarah hidup Nabi Muhammad SAW menceritakan bahwa rumah tangga beliau
sepanjang masa selalu berada dalam kesederhanaan, tidak ada perabot rumah
tangga yang tergolong mewah, bahkan alat rumah tangga yang diperlukan
sehari-haripun jarang didapat, makanan lezat dan enak jarang sekali dirasakan,
bahkan makanan pokok saja berupa roti kering yang terbuat dari tepung kasar
atau satu dan dua biji kurma yang dibutuhkan setiap harinya belum tentu ada
setiap waktu makan. Seringkali beliau berpuasa disiang hari lantaran sejak pagi
sampai sore tidak ada makanan yang dapat dimakan. Dalam riwayat disebutkan
bahwa ketika pagi hari beliau menanyakan kepada isterinya Siti Aisyah R.a.
“Adakah makanan yang dapat kita makan dipagi hari ini wahai Aisyah ?. Aisyah
menjawab; “tidak ada Ya Rasulullah”. Kalau begitu saya akan berspuasa saja kata
Rasul.
Imam Bukhari menceritakan bahwa
Aisyah R.a pernah mengeluh kepada keponakannya yang bernama Urwah dengan
berkata; “Lihatlah Urwah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan
aku bingung jadinya. Urwah bertanya; “Apakah yang menjadi makananmu sehari-hari
?, Aisyah menjawab; “Paling untung yang menjadi makanan pokok itu korma dan
air, kecuali kalau ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada
Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Aisyah R.a menambahkan
bahwa keluarga Muhammad SAW dalam satu hari tidak pernah makan sampai dua kali,
dan paling banyak makanan tersimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti
yang dimakan oleh tiga orang.
Pada suatu hari Rasulullah SAW
masuk Masjid, rupanya di dalam Masjid itu sudah ada Abu Bakar dan Umar R.a.
Rasul bertanya kepada mereka berdua; “mengapa kalian berdua datang ke Masjid ini”.
Keduanya menjawab; kami lagi menghibur lapar. Lalu Nabi SAW juga berkata; “saya
juga menghibur lapar”, kalau begitu kata Nabi SAW mari kita kerumah Abu
al-Hisyam barang kali ada makanan di situ. Berangkatlah mereka bertiga kerumah
Abu al-Hisyam tersebut. Sesampainya disana beliau bertiga disambut oleh Abu
al-Hisyam dengan penuh kegembiraan, langsung saja Abu Hisyam memerintahkan
isterinya dan anak buahnya untuk membuat roti dan memotong seekor kambing.
Setelah semuanya beres dihidangkanlah makanan itu dengan beberapa gelas air,
merekapun makan bersama-sama. Sambil makan Rasul SAW berkata; “rasanya tidak
ada makanan yang lebih nikmat dari ini”.
Hidup sederhana yang dialmi
oleh Rasulullah SAW besarta keluarganya itu tentu bukanlah disebabkan ketidak
mampuannya mendapatkan harta yang melimpah, atau makanan lezat yang bergizi
tinggi, tetapi beliau memberi contoh kepada ummatnya bahwa kenikmatan dan
kelezatan ukhrawi lebih pantas untuk dicari ketimbang kelezatan duniawi, kalau
beliau mau apapun yang beliau minta dari Allah pasti dikabulkan-Nya. Hal ini
pernah ditawarkan Allah SWT melalui Jibril A.s. untuk memilih apakah akan
menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman, A.s. atau menjadi Nabi yang
miskin seperi Nabi Ayub A.s. ternyata Nabi SAW lebih memilih kenyang sehari dan
lapar sehari (miskin) karena jika kenyang ada alasan untuk bersyukur, dan
ketika lapar ada alasan untuk bersabar. Nabi SAW lebih memilih kebahagiaan
hidup di akhirat ketimbang kemewahan duniawi, karena beliau tau persis bahwa
kekurangan harta dunia bukanlah indikator dari kebencian Allah terhadap
hamba-Nya, sedangkan kebahagiaan akhirat tentu lebih utama untuk dicari
ketimbang dunia ini, sebagai mana firman Allah yang berbunyi;
$tB y7tã¨ur y7/u $tBur 4n?s% ÇÌÈ äotÅzEzs9ur ×öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ t$öq|¡s9ur yÏÜ÷èã y7/u #ÓyÌ÷tIsù ÇÎÈ
Artinya: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan
tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu
dari dunia ini. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu
(hati) kamu menjadi puas. (al-Dhuha : 3 – 5)
3. Zuhud
terhadap dunia
Hidup zuhud terhadap dunia
menjadi pakaian yang melekat dalam kehidupan Nabi SAW. Zuhud artinya melepaskan
ketergantungan dengan duniawi, seperti ketergantungan hati kepada harta,
pangkat, jabatan dan lain sebagainya dari berbagai bentuk kehidupan duniawi.
Pakaian zuhud ini bukan saja menjadi pakaian beliau sehari-hari, tetapi juga menjadi
ajaran yang beliau sampaikan kepada para sahabatnya. Nabi bersabda; “Zuhudlah
kamu terhadap dunia, pastilah Allah mencintaimu. Dan zuhudlah kamu terhadap apa
yang ada ditangan manusia, pastilah kamu dicintai manusia”. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melewati seekor kambing yang sudah mati,
lalu beliau bersabda kepada sahabatnya; “tahukah kamu kambing ini hina bagi
yang memilikinya? Para sahabat menjawab “karena kehinaannya itulah maka mereka
melemparkannya”. Kemudian Nabi bersabda “Demi Allah yang jiwaku berada
ditangan-Nya, sungguh dunia ini lebih hina dari kambing ini bagi pemiliknya.
Seandainya dunia ini memadai disisi Allah dengan selembar sayap nyamuk, tentu
Dia tidak akan memberi minum pada seorang kafir dengan seteguk air”. Nabi SAW
bersabda lagi “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang
kafir”. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Ketahuilah bahwa dunia ini dilaknati, dan dilaknati juga apa yang
ada didalamnya, kecuali dzikir kepada Allah, dan apa saja yang mengikutinya
serta orang yang tau atau orang yang mencari tau (belajar)”. (H.R. Turmudzi).
Abu Musa al-Asy’ari berkata;
Rasulullah SAW bersabda; “Orang yang mencintai dunia, pastilah dia akan mengenyampingkan
akhiratnya. Dan orang yang mencintai akhirat, pastilah dia akan
mengenyampingkan dunianya. Oleh karena itu utamakanlah yang abadi atas yang
temporer”. Pada suatu ketika Rasulullah SAW bersama beberapa orang sahabat
berdiri didekat tempat sampah, lalu beliau bersabda; “mari kita perhatikan
dunia”, kemudian beliau mengambil beberapa pakaian usang yang telah rusak
diatas tempat sampah itu dan beberapa tulang yang telah hancur, beliau
bersabda; Ini adalah dunia sebagai suatu isyarat bahwa sesungguhnya perhiasan
dunia akan usang seperti pakaian ini. Sesungguhnya tubuh-tubuh yang engkau
lihat akan menjadi tulang belulang yang hancur”. Nabi SAW berkata pula;
“Sesungguhnya dunia adalah sesuatu yang manis dan hijau, sedang Allah
menjadikan kamu penguasa didalamnya. Lalu Dia melihat bagaimana kamu berbuat.
Sesungguhnya kaum Bani Israil setelah dilapangkan dunianya, mereka menjadi
bingung gemerlapan perhiasan, perempuan, wangi-wangian dan pakaian”.
Pakaian zuhud juga melekat pada
keluarga Nabi SAW. hal ini terlhiat ketika pada suatu waktu Nabi SAW pulang
kerumah isterinya Siti Khadijah R.a. didapatinya Siti Khadijah sedang terisak
menangis, lalu Nabi berkata; Wahai Khadijah apakah yang menyebabkan kamu
menangis ? Apakah karena harta kekayaanmu telah habis dipergunakan untuk
perjuangan Islam ini ?. Khadijah dengan cucuran air matanya sambil berkata; “Ya
Rasulullah ! bukan itu yang aku tangiskan, tapi memikirkan bagaimana
perjuanganmu nanti menegakkan Islam ini sekiranya saya telah berpulang
kerahmatullah. Saya ini sudah tua Ya Rasulullah, sedangkan perjuanganmu
menegakkan Islam ini belum selesai. Andaikan nanti Allah mentakdirkan saya mati
terlebih dahulu, sedangkan engkau akan menyiarkan Islam ini disuatu tempat yang
membutuhkan jembatan sedangkan aku telah berada di alam kubur, galilah kuburku
nanti Ya Rasulullah, ambillah tulang belulangku untuk engkau jadikan jembatan
agar dapat sampai ketempat yang dituju untuk menyampaikan Islam ditempat itu”.
Beberapa waktu kemudian
Rasulullah SAW mengajak Siti Khadijah jalan menelusuri kaki bukit Uhud sambil
membawa sebuah keranjang. Sesampainya beliau berdua di kaki bukit tersebut
Rasulullah SAW mengambil sebuah batu sebesar tinju yang ternyata sebingkah
emas, lalu diberikannya kepada Siti Khadijah sambil berkata; Ambillah ini
sebagai Rizki dari Allah, lalu dimasukkan kedalam keranjang yang dibawa oleh
Siti Khadijah tersebut. Siti Khadijah sangat heran namun tidak berani bertanya,
cuma saja didalam hati bertanya-tanya ada apa dengan ini. Setelah itu beliau
berdua meneruskan perjalanan menuju ke atas bukit uhud tersebut, sesampainya
dipertengahan Rasul SAW mengambil sebuah batu yang lebih besar dari yang
pertama tadi, ternyata juga sebingkah emas murni. Beliau berikan batu emas itu
kepada Siti Khadijah dengan memasukkannya kedalam keranjang yang dibawa Siti
Khadijah itu, beliau berkata; ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Lagi-lagi
Siti Khadijah terdiam dengan penuh pertanyaan didalam hati. Kemudian beliau
berdua meneruskan perjalanan menuju puncak bukit uhud itu, ternyata tidak lama
kemudian Rasulpun mengambil sebuah batu yang lebih besar lagi yang ternyata
juga sebingkah emas murni. Rasul SAW memberikannya kepada Siti Khadijah dan
memasukkannya kedalam keranjang sambil berkata; Ambillah ini sebagai rizki dari
Allah. Akhirnya dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi Siti Khadijah
berkata; Ya Rasulullah! Bukan ini yang aku cari, aku tidak mencari dunia, tapi
keridhaan Allah dan Rasul-Nya yang aku harapkan. Lalu Siti Khadijah membuang
tiga bingkah emas tersebut.
Dalam banyak riwayat Nabi SAW
menjelaskan posisi dunia ini bagi manusia. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia
pernah diajak oleh Nabi SAW melihat sebuah jurang dari beberapa jurang yang ada
di Kota Madinah. Rasul bersabda; Ya Abu Hurairah maukah kamu saya perlihatkan
dunia ini dan apa yang ada didalamnya ?. Abu Hurairah menjawab; mau ya
Rasululullah ! lalu beliau membimbing tanganku dan memabawaku kesalah satu
jurang dari beberapa jurang yang ada di kota Madinah. Ternyata didalamnya
terdapat tempat-tempat sampah yang berisikan tengkorang manusia,
kotoran-kototran, pakaian usang, dan tulang belulang., kemudian Beliau bersabda;
“Hai Abu Hurairah, kepala-kepala ini pernah rakus
seperti kerakusanmu, dan berangan-angan seperti angan-anganmu, tetapi
dikemudian hari dia menjadi tulang tanpa kulit dan kemudian menjadi abu. Dan
kotoran-kotoran ini berasal dari bermacam - macam makanan yang telah mereka
kumpulkan dari berbagai tempat tanpa memandang halal atau haram. Tetapi
kemudian makanan itu dilemparkan kedalam perut dan akhirnya manusia berdesakan.
Dan ini pakaian-pakaian mereka yang kemudian diombang-ambingkan angin. Dan
tulang-tulang ini berasal dari tulang belulang binatang yang mereka kendarai
dan pernah mereka gunakan untuk menjelajah pinggiran-pinggiran negeri ini. Maka
barang siapa yang menangisi dunia, maka hendaklah dia menangis. Akhirnya kami
menangis dan tidak beranjak dari tempat itu sampai tangisan kami semakin
keras”.
Ketika
Rasulullah S.A.W. berkhutbah beliau menyampaikan bahwa “orang-orang
mukmin selalu berada pada dua kekhawatiran; Pertama, khawatir masa yang telah
lalu, yang tidak diketahui bagaimana Allah menilai amal perbuatannya dan apa
yang akan diperbuat oleh Allah terhadap dirinya sebagai akibat dari
perbuatannya itu. Kedua; Khawatir masa yang akan datang karena dia tidak
mengetahui apa yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya. Oleh karena itu
hendaklah kamu perbanyak bekal untuk dirimu sendiri, dunia untuk akhirat, muda
untuk masa tua, hidup untuk mati, karena dunia ini diciptakan untuk kamu dan
kamu diciptakan untuk akhirat. Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidak
ada taubat setelah mati, dan tidak ada perkampungan sesudah dunia ini kecuali
surga atau neraka”.
4. Taubat
dan ibadah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa
selama hayatnya, segenap prikehidupan Muhammad menjadi tumpuan perhatian
masyarakat, karena segala sifat terpuji berhimpun pada dirinya. Bahkan beliau
merupakan lautan budi yang tidak pernah kering meskipun diminum oleh semua
makhluk. Amal ibadah yang beliau lakukan tiada bandingannya. Dalam riwayat,
Rasulullah SAW. beristighfar dalam satu hari satu malam tidak kurang dari 100
kali. Shalat tahajjud dan witir yang beliau lakukan tidak pernah terputus
setiap malamnya, meskipun kakinya pecah-pecah karena terlalu sering terkena
air. Apabila pada suatu malam beliau berhalangan melakukan shalat tahajjud,
segera saja keesokan paginya beliau ganti (qadha’) sehingga kekosongan pada
malam itu segera terisi pada besok paginya. Dengan demikian ibadahnya beliau
tidak terganggu. Dalam bermunajat kepada Allah, perasaan khauf dan raja’ selalu
diiringi dengan isak tangis yang sedu sedan, sampai jenggot dan surbannya basah
terkena air mata.
Read more: http://www.dokumenpemudatqn.com/2012/11/tasawuf-pada-masa-nabi-muhammad-saw.html#ixzz2DfmbaSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar