Jumat, 30 November 2012

SEKILAS TENTANG TAREKAT QADIRIYAH

A.    Munculnya Tarekat
Perwujudan Islam, meskipun berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi Islam dengan struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul, sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik. Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak perwujudan Islam itu sendiri.[1]
            Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran serta merumuskan karakteristik gerakannya.
            Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan dan peningkatan kualitas spiritual.
            Perkembangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif. Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada Allah.[2] Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam struktur hukum (fiqh).
            Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification” (jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi pengikat.[3] Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4]
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.

B.     Definisi Tarekat
Tarekat (Thariqah) secara harfiah berasal dari bahasa Arab thoriqoh, jamaknya thoraiq berarti "jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)ƒÌ©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{ ¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ
Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat "rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thoriqoh al-Mu'tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Thoriqoh naqsyabandiyah, Tarekat rifa'iah, tarekat samaniyah dll. untuk di indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja. Bahkan di Manado ada juga Biara Nasrani yang menggunakan istilah Tarekat, seperti Tarekat SMS Joseph.

Empat tingkatan spiritual


Bagan yang menggambarkan kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual (syari'ahtariqahhaqiqah, dan ma'rifah yang dianggap tidak terlihat)








Kaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu syari'at, tariqah, haqiqah, dan tingkatan keempat ma'rifat yang merupakan tingkatan yang 'tak terlihat'. Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
C.    Berdirinya Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 88 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf dan sebagainya.

D.    Bai'at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti; pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.

E.     Tarekat Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya "Mystical Dimensions of Islam" hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi terbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat almarhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma'rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

F.     Silsilah Tarekat Qadiriyah
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Silsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari:
1.Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui
2.Sayidina Ali bin Abi Thalib ra,
3.Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra,
4.Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra,
5.Sayidina Muhammad Baqir ra,
6.Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra,
7.Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim,
8.Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido,
9.Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti,
10.Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi,
11.Syaikh Abu Bakar As-Syibli,
12.Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi,
13.Syaikh Abul Faraj Altartusi,
14.Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari,
15.Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi,
16.Syaikh Muhyidin Abu Muhammad,
17.Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.
Sumber: http://sufinews.com/index.php/Qodiriyah/tarekat-qodiriyah/All-Pages.sufi



[1] Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm. 13-14.
[2] Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 1996), hlm. 29.
[3] M. Fudoli Zaini,  “Asal-usul Tarekat dan Penyebarannya di Dunia Islam,   dalam Akademika, Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
[4] Adapun yang mendorong lahirnya tarekat menurut Barmawie Umarie ada tiga hal yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya memang ada bakat mengarah kepada kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang anarkhis, misalnya akibat revolusi, kesewenangan kedhaliman dan sebagainya, yang kemudian mereka memilih kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau sekaligus gerakan tarekat dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi situasi itu; karena orang jemu terhadap kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat Barmawie Umarie, “Sistematika Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm. 116-117. Lihat juga hasil penelitian Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kedungparuk Banyumas”, Kajian Historis dan Sosiologis, hlm. 2-4.