A. Munculnya Tarekat
Perwujudan Islam, meskipun berangkat dari sistem nilai yang
berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai
bagian langsung dari interaksi Islam dengan struktur dan pola kultur
masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan pedoman harus memberikan
jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul, sehingga masyarakat menemukan
Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik. Namun demikian, pada sisi lain,
Islam harus menerima masukan dan pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan
oleh pola pandangan dan penafsiran yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam
dan pola kultur masyarakat yang demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang
pada gilirannya mempengaruhi corak perwujudan Islam itu sendiri.[1]
Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam
menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah
menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun
pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam
mendapatkan momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep
pemahaman dan penafsiran serta merumuskan karakteristik gerakannya.
Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep
dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan
altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili
sebuah kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas
keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi
sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang
berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab
merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya
dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan
dan peningkatan kualitas spiritual.
Perkembangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon
individual muslim terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif.
Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti
agamanya dengan mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan
ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan
penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan
diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada
Allah.[2]
Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin
dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan
Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang
demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam
struktur hukum (fiqh).
Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan
dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori
Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan
pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification”
(jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada
kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan
jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber
reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi
pengikat.[3]
Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat
dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4]
Tumbuhnya tarekat dalam
Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu
sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa
pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali
melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri
dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan.
Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan
hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi
yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina
Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada
keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani,
sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat
Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah
dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
B.
Definisi
Tarekat
Tarekat
(Thariqah) secara harfiah berasal dari bahasa
Arab thoriqoh, jamaknya thoraiq
berarti
"jalan" sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju
kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya.
Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS
Al-Jin:16,
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)Ì©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{
¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap
berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”
Istilah thariqah dalam
perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua
yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran
esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk
orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal
yang bersifat "rahasia" yang bobot kerohaniannya berat, sehingga
membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus
melalui guru (mursyid) dengan bai'at dan guru yang mengajarkannya harus
mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti
terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di
dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin
‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para
penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua
pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada
individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal
seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu
mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan
(persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah
suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh
dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat
dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan
dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat
sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thoriqoh
al-Mu'tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Thoriqoh naqsyabandiyah, Tarekat rifa'iah, tarekat samaniyah dll. untuk di
indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau nama paham
mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara
langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan
kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf
(Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja. Bahkan di
Manado ada juga Biara Nasrani yang menggunakan istilah Tarekat, seperti Tarekat
SMS Joseph.
Empat tingkatan spiritual
Bagan yang menggambarkan kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual (syari'ah, tariqah, haqiqah, dan ma'rifah yang dianggap tidak terlihat)
Kaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat
tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu syari'at, tariqah, haqiqah,
dan tingkatan keempat ma'rifat yang merupakan tingkatan yang 'tak
terlihat'. Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat,
sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
C.
Berdirinya
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qodiryah
didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama
lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost
al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561
H/1166 M. Dalam usia 88 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada
tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya
Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari
gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang
sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127
M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal
masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya
sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia
sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan
ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H.
Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593
H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan
anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai
hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat
Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh
jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun
meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia
pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w
1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi
(w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat
Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini
dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia
berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu
seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang
sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan
Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."
Mungkin karena
keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam
kategori Qadiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad
ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei
(1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki
terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah,
Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah,
'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika
terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu' Aliyya, Manzaliyah dan tarekat
Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani.
Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah
dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan
makam mereka disebut "Syurafa Jilala".
Dari ketaudanan nabi
dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang
kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga
memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah
swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan
sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang
tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan
mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan
suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan
dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra,
hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan
shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca
istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa
Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar
berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan
lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi
dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan
Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri
dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya,
dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri
dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi
(al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim
dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah
masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar
bin Khattab, ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan, ahli jihad
fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi,
ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas'ud dan
Ubay bin Ka'ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi
Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin
Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu'ad bin Jabal, ahli politik
peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf
dan sebagainya.
D.
Bai'at
Untuk mengamalkan
tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti; pertama, adanya pertemuan guru
(syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih
dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi
Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan
istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru
mengucapkan "infahna binafhihi minka" dan dilanjutkan dengan ayat
mubaya'ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha
Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu
dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan
minum.
Kedua, tahap
perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun.
Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti,
menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras
melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga
memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
E.
Tarekat
Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat
di Timur Tengah. Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari
Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16,
khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat,
Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa
Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari
Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah,
merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid
Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi
penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan
Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya
"Mystical Dimensions of Islam" hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat
bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di
Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda
pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang
mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan
Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.
Tapi, pemberontakan
kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin
oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van
Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul
Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan
tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama
terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903
KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak
Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.
Sementara itu
organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah
organisasi terbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada
tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah
menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi
Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis
KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya,
Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai
merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh
Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan
silsilah tarekat almarhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang
Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau
mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari
Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai
ma'rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.
F. Silsilah Tarekat Qadiriyah
Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul
Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas
mursyid tarekat. Garis Silsilah tarekat Qodiriyah
ini berasal dari:
1.Sayidina
Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui
2.Sayidina Ali
bin Abi Thalib ra,
3.Sayidina Al-Imam
Abu Abdullah Al-Husein ra,
4.Sayidina
Al-Imam Ali Zainal Abidin ra,
5.Sayidina
Muhammad Baqir ra,
6.Sayidina
Al-Imam Ja'far As Shodiq ra,
7.Syaikh Al-Imam
Musa Al Kazhim,
8.Syaikh Al-Imam
Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido,
9.Syaikh Ma'ruf
Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti,
10.Syaikh Al-Imam
Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi,
11.Syaikh Abu
Bakar As-Syibli,
12.Syaikh Abul
Fadli Abdul Wahid At-Tamimi,
13.Syaikh Abul
Faraj Altartusi,
14.Syaikh Abul
Hasan Ali Al-Hakkari,
15.Syaikh Abu
Sa'id Mubarok Al Makhhzymi,
16.Syaikh Muhyidin
Abu Muhammad,
17.Abdul Qodir
Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.
Masalah
silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut
seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para
kiai itu sendiri.
Sumber:
http://sufinews.com/index.php/Qodiriyah/tarekat-qodiriyah/All-Pages.sufi
[1] Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan
Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm.
13-14.
[2] Lihat Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 29.
[3] M. Fudoli Zaini, “Asal-usul
Tarekat dan Penyebarannya di Dunia Islam, dalam Akademika,
Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
[4] Adapun yang mendorong lahirnya tarekat menurut
Barmawie Umarie ada tiga hal yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya memang
ada bakat mengarah kepada kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang
anarkhis, misalnya akibat revolusi, kesewenangan kedhaliman dan sebagainya,
yang kemudian mereka memilih kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau
sekaligus gerakan tarekat dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi
situasi itu; karena orang jemu terhadap kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat
Barmawie Umarie, “Sistematika Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm.
116-117. Lihat juga hasil penelitian Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah
Khalidiyah di Kedungparuk Banyumas”, Kajian Historis dan Sosiologis,
hlm. 2-4.