A.
PENGERTIAN GLOKALISASI
Glokalisasi
merupakan istilah yang mulai berkembang saat ini, istilah ini muncul seiring berkembangnya
istilah globalisasi. Glokalisasi dan globalisasi tidaklah sama. Glokalisasi
lebih condong ke dunia lokal. Glokalisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk
mencegah globalaisasi. Glokalisasi ini dilakukan untuk membentengi diri dari
bercampurnya kebudayaan lokal dan kebudayaan asing. Jika arus globalisasai
tidak bisa di bendung, maka kebudayaan yang dimiliki oleh suatu negara lama
kelamaan akan mejadi hilang. Sebenarnya ada usaha lain untuk membendung arus
globalisasi, seperti memperkuat identitas budaya kita, dan menanamkan budaya
yang ada sejak dini. Tetapi yang paling mendapat perhatian saat ini sepertinya
adalah glokalisasi. Glokalisasi juga bisa di artikan menjadi sebuah ide
pikiran, yaitu berpikri global dan bertindak lokal[1].
Istilah
ini pertama muncul pada akhir 1980-an di tulisan para ekonom Jepang di Harvard
Business Review. Menurut sosiolog Roland Robertson, yang
memopulerkan kata ini, glokalisasi mendeskripsikan hasil penyesuaian lokal baru
terhadap tekanan global. Di konferensi "Globalization and Indigenous
Culture" tahun 1997, Robertson mengatakan bahwa glokalisasi "berarti
munculnya tendensi universal dan terpusat secara bersamaan[2]."
Menjamurnya
restoran McDonald's di seluruh dunia adalah contoh
globalisasi, sedangkan perubahan menu restoran demi menarik konsumen lokal
adalah contoh glokalisasi. Glokalisasi berarti suatu peristiwa ketika sebuah
produk global diubah ke dalam bentuk lain agar memenuhi kebutuhan konsumen
lokal. Ini adalah fenomena alternatif bagi amerikanisasi.
Contoh glokalisasi yang lebih ilustratif: Untuk mempromosikan mereknya di
Perancis, McDonald's mengganti maskot Ronald McDonald-nya dengan Asterix,
tokoh kartun Perancis yang populer.
Contoh
lainnya, McDonald's mencoba memuaskan lidah orang Korea dengan menciptakan
hamburger bergaya Korea seperti 'burger Bulgogi' dan 'burger Kimchi'. Starbucks menyerahkan
urusan desain tokonya kepada warga setempat. Disneyland tidak
begitu sukses di Hong Kong menurut jumlah pengunjung dan pendapatannya sejak
dibuka tahun 2005. Disneyland lantas berusaha melayani pengunjung lokal dengan
mengurangi harga tiket, beradaptasi dengan adat dan praktik kerja setempat, dan
mengubah dekorasi dan tata letaknya. Dengan memenuhi kebutuhan warga setempat,
glokalisasi berhasil diterapkan di Hong Kong. Karena itu, glokalisasi berkontribusi
pada heterogenisasi budaya[3].
B. GLOKALISASI DAN PENDIDIKAN YANG
DIDASARKAN PADA KEBUDAYAAN[4]
Arus
globalisasi telah melanda seluruh aspek kehidupan manusia abad ke-21. Namun
demikian manusia yang tidak ingin kehilangan identitasnya dalam perubahan
global dewasa ini, arti dari nilai-nilai lokal masih sangat signifikan bahkan
memegang peranan yang semakin penting. Globalisasi akan lebih bermakna apabila
keseluruhan dari nilai-nilai lokal diinspirasikan kedalamnya. Bukankah hal
tersebut merupakan salah satu ciri dari kehidupan masyarakat manusia seperti
penglihatan Ralph Linton? Glokalisasi 30 berarti pengakuan terhadap nilai-nilai
budaya lokal yang bermanfaat bukan hanya bagi pemiliknya yang lokal tetapi juga
untuk kepentingan umat manusia pada umumnya. Hal ini berarti mengglobalisasikan
pen-didikan nasional yang didasarkan kepada kebudayaan Indonesia yang bhinneka
dan unik merupakan suatu sumbangan yang sangat berharga dalam pengembangan
budaya global.
Nilai-Nilai
Pancasila dalam Pendidikan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Indonesia
Multikultural Pancasila menurut Bung Karno digali dari kebudayaan Nusantara
yang bhinneka. Kebhinnekaan etnis dan budaya merupakan kenyataan di dalam
masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu perlu kite kaji apa makna kebhinnekaan
tersebut di dalam proses pendidikan karakter bangsa. Telah dijelaskan pula
betapa kebudayaan memegang peranan penting di dalam terbentuknya karakter atau
watak suatu bangsa.
Bagaimana
pengaruh kebhinnekaan kebudayaan terhadap pengembangan karakter bangsa
Indonesia akan kita tinjau lebih lanjut.
C.
PESERTA
DIDIK DALAM MASYARAKAT ETNIS[5]
Indonesia terdiri dari berbagai jenis etnis dengan
budayanya yang spesifik. Antara lain kita mengenal lebih dari 700 bahasa daerah
baik yang masih hidup dan berkembang maupun ada yang dalam keadaan sekarat.
Keberadaan kebudayaan yang beranekaragam tersebut (multikultural) tentunya
menimbulkan berbagai masalah yang positif maupun negatif di dalam pembentukan
watak atau karakter bangsa Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson
bangsa adalah suatu masyarakat yang diimaginasikan. Bangsa Indonesia merupakan
suatu imaginasi yang dicitacitakan oleh suku-suku bangsa yang mendiami
Nusantara menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia. Sebagai-mana yang kita kenal
di dalam Sumpah Pemuda Tahun 1928 kita mengimaginasikan satu negara yang
mempunyai satu tanah air, satu bahasa dan satu negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sudah tentu negara yang
dicita-citakan tersebut tidak datang dengan sendirinya etapi memerlukan suatu
perjuangan. Salah satu perjuangan itu ialah bagaimana mempersatukan suku-suku
bangsa dengan budayanya masing-masing menjadi satu bangsa Indonesia.
Multikulturalisme
bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai positif tetapi juga negatif.
Nilai-nilai positif multikulturalisme bangsa Indonesia ialah kebhinnekaan itu
menyumbang bagi kekayaan budaya angsa Indonesia. Seperti yang dirumuskan di
dalam Penjelasan UUD 945 kebudayaan Indonesia merupakan puncak-puncak dari
kebuayaan suku-suku bangsa di Nusantara. Yang menjadi persoalan sekarang ialah
apa dan bagaimana masing-masing suku tersebut dapat menyumbangkan puncak
kebudayaannya kepada kebudayaan bangsa Indonesia, kebudayaan nasional
Indonesia. Disinilah terletak potensi bahaya yang dapat menghancurkan upaya
untuk membentuk kesatuan kebudayaan nasional yang akan mengikat seluruh bangsa
Indonesia. Keterikatan terhadap budaya sendiri atau ethnicity kadang-kadang
sukar untuk ditinggalkan. Memang seperti kita lihat di dalam teori Vigotsky
bagaimana pembentukan kepribadian seorang anggota masyarakat yang sangat
terikat kepada pengalaman empat tahun yang pertama dalam kehidupan manusia
yaitu dalam lingkungan keluarganya dan etnisnya. Hal tersebut merupakan tugas
pendidikan yang besar yaitu bagaimana menghargai peranan budaya etnis yang
dapat disumbangkan kepada terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia. Apabila
keterkaitan terhadap budaya etnis sangat besar tetapi mengandung nilai-nilai
negatif dalam kesatuan bangsa maka ini merupakan suatu bahaya di dalam
pembentukan nasionalisme karena dapat menimbulkan pergeseran horizontal
sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Indonesia baru-baru ini. Era reformasi
yang merupakan eksperimen untuk demokrasi, masyarakat terbuka, selain menghormati hak-hak asasi manusia
tetapi juga telah melahirkan konflik horizontal di daerah.
Konflik horizontal ini kita lihat semakin berbahaya apabila
disertai juga dengan kepentingan kelompok dan golongan ataupun agama.
Etnosentrisme
atau kehidupan manusia yang didominasi oleh nilai-nilai etnis sendiri di dalam
era globalisasi mengandung nilai-nilai positif tetapi juga nilai-nilai
negatifnya. Dalam era globalisasi tampak kecenderungan terbentuknya budaya
global yang menghilangkan identitas etnis. Lahir kebudayaan yang tanpa jiwa
karena didominasi oleh materialisme dan kekuatan modal besar. Akibatnya ialah
lahirnya pribadi-pribadi tanpa arah yang hanya mengikuti gelombang-gelombang
global yang tanpa bentuk sehingga orang kehilangan identitasnya. Identitas
nasional diganti dengan identitas metropolitan atau identitas global yang
sebenarnya tanpa arah den bentuk atau lebih tepat tanpa jiwa. Memang benar
etnisitas dalam era globalisasi mengalami perubahanperubahan yang sangat
drastis akibat mobilisasi penduduk dunia yang cepat dan terbuka. Bahkan telah lahir apa yang disebut
budaya hybrid yaitu percampuran antara berbagai jenis budaya yang bagi
perkembangan pribadi seorang anak kecil merupakan suatu masalah. Dapat dibayangkan misalnya dari
keluarga hybrid seorang ayah dari Amerika dan seorang ibu dari Indonesia dan
anaknya menjadi besar di salah satu Negara Eropa Barat. Putera-puteri dari keluarga ini akan dibesarkan di
dalam kebudayaan hybrid. Apakah benar pribadi hybrid tersebut di dalam negara
tanpa batas merupakan pribadi ideal di abad ke-21? Sementara pakar tidak seluruhnya
menyetujui pendapat ini karena bagaimanapun juga manusia terikat pada
kelompoknya. Nasionalisme merupakan gejala kehidupan modern akan tetap langgeng
meskipun akan mempunyai bentuknya yang lain.
Di
tengah-tengah arus globalisasi ternyata etnisitas masih tetap hidup. Bahkan ada
pakar yang mengatakan bahwa gelombang perubahan global akan semakin berarti
apabila tetap menonjolkan nilai-nilai lokal. Inilah apa yang disebut glokalisasi
yang memberikan warna tertentu di dalam kehidupan global masa depan.
Glokalisasi tidak menentang perubahan global tetapi juga tidak menghilangkan
hakikat manusia yang terikat kepada masyarakat etnisnya. Keunikan etnis yang
positif akan memberikan warna yang indah di dalam taman kehidupan global yang
multietnis. Indonesia merupakan contoh yang sangat indah mengenai lahirnya
kebudayaan nasional dari kebhinne-aan budaya etnis.
Keberhasilan pendidikan nasional Indonesia yang multietnis
barangkali dapat dijadikan contoh di dalam dunia global yang mengakui
eksistensi kebhinnekaan kebudayaan di planet dunia ini. Makna Nilai-nilai Etnis dalam
Pembentukan Watak Baik Ralph Linton maupun Leon Vigotsky melihat betapa
pentingnya interaksi kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian pesertadidik.
Ralph
Linton menunjukkan bagaimana terbentuknya basic personality sebagai hasil
interaksi dengan nilai-nilai di sekitarnya atau nilai-nilai budaya yang dikenal
oleh anak manusia ketika dilahirkan. Leon Vigotsky menunjukkan terdapat
lingkaran-lingkaran interaksi antara pribadi dengan lingkungannya yang semakin
meluas atau ‘scape seperti “landscape” yang pertama yang sangat dekat yaitu
ingkungan keluarga di mana dia dilahirkan. Budaya lokal sangat mempengaruhi
tingkah-laku seorang peserta-didik, kebiasaan, adat-istiadat yang membentuk
pribadinya yang pertama. Kemudian pada scape berikutnya peserta-didik mulai
menghadapi lingkaran yang semakin tidak kedap (porous). Pada tahap inilah
terjadi kemungkinan pembentukan yang lebih luas dari watak atau karakter
peserta-didik.
Apabila pengaruh dari lust hanya terbatas atau didominasi
dan diindoktrinasi oleh budaya lokalnya, maka pribadi yang terbentuk memiliki
watak etnis yang terbatas. Namun apabila pengaruh lingkungan membuka pintu
pikiran (ilmu pengetahuan dan teknologi) serta pintu hati (moral, agama) dengan
dunia yang luas maka akan terbentuk watak atau karakter pribadi yang lebih luas
dan lebih matang. Inilah yang dapat kita rebut pribadi yang memiliki karakter
atau watak yang berbudaya dan berkeadaban.
Selanjutnya
karena pribadi tersebut hidup di dalam dunia global yang terbuka maka dia dapat
diterima di dalam pergaulan antarbangsa, pribadi yang dihormati dan saling
menghormati di dalam kehidupan masyarakatnya dan masyarakat bangsa yang
bermartabat.
Masyarakat Indonesia dewasa ini mengalami berbagai krisis
antara lain krisis di dalam kehidupan beragama yang beragam. Timbul
gejala-gejala yang apa yang disebut terorisme yaitu sikap kekerasan yang lahir
dari fundamentalisme agama. Di dalam kaftan ini Prof. Azra35 menganjurkan agar
supaya pendidikan anti-terorisme diajarkan di dalam lingkungan pendidikan
seperti di pesantren.
Terorisme
lahir karena kurangnya sikap toleransi terhadap perbedaan yang merupakan ciri
dari suatu masyarakat plural dan multikultural seperti di Indonesia. Apabila
setiap anggota masyarakat Indonesia mengakui akan kebhinnekaan masyarakat
Indonesia maka terorisme yang ber-tujuan memaksakan kehendak kelompoknya atau kepentingan
kelompoknya sendiri tidak akan terjadi.
Multikulturalisme yang lang-geng hanya dapat ditegakkan
apabila sikap toleransi yang melahirkan tars percaya sehingga menghargai
perbedaan dan melihatnya sebagai kekuatan hidup di dalam satu kelompok masyarakat
atau bangsa. Salah satu masalah yang perlu mendapatkan prioritas di dalam
pendidikan nasional dewasa ini ialah bagaimana membawa peserta-didik keluar
dari lingkaran etnis yang kedap, dari sikap primordialisme kepada lahirnya
karakter bangsa Indonesia yang menghargai adanya perbedaan. Inilah sikap
demokratis yang merupakan tujuan pen-didikan nasional. Alangkah indahnya tujuan
tersebut telah dirumus-kan di dalam undang-undang pendidikan pertama Republik
Indonesia yang menyatakan tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia
yang susila dan demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
bangsa dan tanah air.
Desentralisasi pendidikan nasional dewasa ini merupakan
suatu modal besar dalam pengakuan terhadap etnisitas dan multikultural bangsa
Indonesia tetapi juga memberikan tanggung jawab kepada daerah untuk ikut
melahirkan karakter bangsa dari peserta-didik sebagai anggota masyarakat
Indonesia yang multikultural dan bersatu.