Kamis, 31 Oktober 2013

GLOKALISASI DAN PENDIDIKAN YANG DIDASARKAN PADA KEBUDAYAAN


A.    PENGERTIAN GLOKALISASI
Glokalisasi merupakan istilah yang mulai berkembang saat ini, istilah ini muncul seiring berkembangnya istilah globalisasi. Glokalisasi dan globalisasi tidaklah sama. Glokalisasi lebih condong ke dunia lokal. Glokalisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk mencegah globalaisasi. Glokalisasi ini dilakukan untuk membentengi diri dari bercampurnya kebudayaan lokal dan kebudayaan asing. Jika arus globalisasai tidak bisa di bendung, maka kebudayaan yang dimiliki oleh suatu negara lama kelamaan akan mejadi hilang. Sebenarnya ada usaha lain untuk membendung arus globalisasi, seperti memperkuat identitas budaya kita, dan menanamkan budaya yang ada sejak dini. Tetapi yang paling mendapat perhatian saat ini sepertinya adalah glokalisasi. Glokalisasi juga bisa di artikan menjadi sebuah ide pikiran, yaitu berpikri global dan bertindak lokal[1].
Istilah ini pertama muncul pada akhir 1980-an di tulisan para ekonom Jepang di Harvard Business Review. Menurut sosiolog Roland Robertson, yang memopulerkan kata ini, glokalisasi mendeskripsikan hasil penyesuaian lokal baru terhadap tekanan global. Di konferensi "Globalization and Indigenous Culture" tahun 1997, Robertson mengatakan bahwa glokalisasi "berarti munculnya tendensi universal dan terpusat secara bersamaan[2]."
Menjamurnya restoran McDonald's di seluruh dunia adalah contoh globalisasi, sedangkan perubahan menu restoran demi menarik konsumen lokal adalah contoh glokalisasi. Glokalisasi berarti suatu peristiwa ketika sebuah produk global diubah ke dalam bentuk lain agar memenuhi kebutuhan konsumen lokal. Ini adalah fenomena alternatif bagi amerikanisasi. Contoh glokalisasi yang lebih ilustratif: Untuk mempromosikan mereknya di Perancis, McDonald's mengganti maskot Ronald McDonald-nya dengan Asterix, tokoh kartun Perancis yang populer.
Contoh lainnya, McDonald's mencoba memuaskan lidah orang Korea dengan menciptakan hamburger bergaya Korea seperti 'burger Bulgogi' dan 'burger Kimchi'. Starbucks menyerahkan urusan desain tokonya kepada warga setempat. Disneyland tidak begitu sukses di Hong Kong menurut jumlah pengunjung dan pendapatannya sejak dibuka tahun 2005. Disneyland lantas berusaha melayani pengunjung lokal dengan mengurangi harga tiket, beradaptasi dengan adat dan praktik kerja setempat, dan mengubah dekorasi dan tata letaknya. Dengan memenuhi kebutuhan warga setempat, glokalisasi berhasil diterapkan di Hong Kong. Karena itu, glokalisasi berkontribusi pada heterogenisasi budaya[3].
B.     GLOKALISASI DAN PENDIDIKAN YANG DIDASARKAN PADA KEBUDAYAAN[4]

Arus globalisasi telah melanda seluruh aspek kehidupan manusia abad ke-21. Namun demikian manusia yang tidak ingin kehilangan identitasnya dalam perubahan global dewasa ini, arti dari nilai-nilai lokal masih sangat signifikan bahkan memegang peranan yang semakin penting. Globalisasi akan lebih bermakna apabila keseluruhan dari nilai-nilai lokal diinspirasikan kedalamnya. Bukankah hal tersebut merupakan salah satu ciri dari kehidupan masyarakat manusia seperti penglihatan Ralph Linton? Glokalisasi 30 berarti pengakuan terhadap nilai-nilai budaya lokal yang bermanfaat bukan hanya bagi pemiliknya yang lokal tetapi juga untuk kepentingan umat manusia pada umumnya. Hal ini berarti mengglobalisasikan pen-didikan nasional yang didasarkan kepada kebudayaan Indonesia yang bhinneka dan unik merupakan suatu sumbangan yang sangat berharga dalam pengembangan budaya global.

Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Indonesia Multikultural Pancasila menurut Bung Karno digali dari kebudayaan Nusantara yang bhinneka. Kebhinnekaan etnis dan budaya merupakan kenyataan di dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu perlu kite kaji apa makna kebhinnekaan tersebut di dalam proses pendidikan karakter bangsa. Telah dijelaskan pula betapa kebudayaan memegang peranan penting di dalam terbentuknya karakter atau watak suatu bangsa.
Bagaimana pengaruh kebhinnekaan kebudayaan terhadap pengembangan karakter bangsa Indonesia akan kita tinjau lebih lanjut.
C.    PESERTA DIDIK DALAM MASYARAKAT ETNIS[5]
Indonesia terdiri dari berbagai jenis etnis dengan budayanya yang spesifik. Antara lain kita mengenal lebih dari 700 bahasa daerah baik yang masih hidup dan berkembang maupun ada yang dalam keadaan sekarat. Keberadaan kebudayaan yang beranekaragam tersebut (multikultural) tentunya menimbulkan berbagai masalah yang positif maupun negatif di dalam pembentukan watak atau karakter bangsa Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson bangsa adalah suatu masyarakat yang diimaginasikan. Bangsa Indonesia merupakan suatu imaginasi yang dicitacitakan oleh suku-suku bangsa yang mendiami Nusantara menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia. Sebagai-mana yang kita kenal di dalam Sumpah Pemuda Tahun 1928 kita mengimaginasikan satu negara yang mempunyai satu tanah air, satu bahasa dan satu negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sudah tentu negara yang dicita-citakan tersebut tidak datang dengan sendirinya etapi memerlukan suatu perjuangan. Salah satu perjuangan itu ialah bagaimana mempersatukan suku-suku bangsa dengan budayanya masing-masing menjadi satu bangsa Indonesia.
Multikulturalisme bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai positif tetapi juga negatif. Nilai-nilai positif multikulturalisme bangsa Indonesia ialah kebhinnekaan itu menyumbang bagi kekayaan budaya angsa Indonesia. Seperti yang dirumuskan di dalam Penjelasan UUD 945 kebudayaan Indonesia merupakan puncak-puncak dari kebuayaan suku-suku bangsa di Nusantara. Yang menjadi persoalan sekarang ialah apa dan bagaimana masing-masing suku tersebut dapat menyumbangkan puncak kebudayaannya kepada kebudayaan bangsa Indonesia, kebudayaan nasional Indonesia. Disinilah terletak potensi bahaya yang dapat menghancurkan upaya untuk membentuk kesatuan kebudayaan nasional yang akan mengikat seluruh bangsa Indonesia. Keterikatan terhadap budaya sendiri atau ethnicity kadang-kadang sukar untuk ditinggalkan. Memang seperti kita lihat di dalam teori Vigotsky bagaimana pembentukan kepribadian seorang anggota masyarakat yang sangat terikat kepada pengalaman empat tahun yang pertama dalam kehidupan manusia yaitu dalam lingkungan keluarganya dan etnisnya. Hal tersebut merupakan tugas pendidikan yang besar yaitu bagaimana menghargai peranan budaya etnis yang dapat disumbangkan kepada terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia. Apabila keterkaitan terhadap budaya etnis sangat besar tetapi mengandung nilai-nilai negatif dalam kesatuan bangsa maka ini merupakan suatu bahaya di dalam pembentukan nasionalisme karena dapat menimbulkan pergeseran horizontal sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Indonesia baru-baru ini. Era reformasi yang merupakan eksperimen untuk demokrasi, masyarakat terbuka, selain menghormati hak-hak asasi manusia tetapi juga telah melahirkan konflik horizontal di daerah.
Konflik horizontal ini kita lihat semakin berbahaya apabila disertai juga dengan kepentingan kelompok dan golongan ataupun agama.
Etnosentrisme atau kehidupan manusia yang didominasi oleh nilai-nilai etnis sendiri di dalam era globalisasi mengandung nilai-nilai positif tetapi juga nilai-nilai negatifnya. Dalam era globalisasi tampak kecenderungan terbentuknya budaya global yang menghilangkan identitas etnis. Lahir kebudayaan yang tanpa jiwa karena didominasi oleh materialisme dan kekuatan modal besar. Akibatnya ialah lahirnya pribadi-pribadi tanpa arah yang hanya mengikuti gelombang-gelombang global yang tanpa bentuk sehingga orang kehilangan identitasnya. Identitas nasional diganti dengan identitas metropolitan atau identitas global yang sebenarnya tanpa arah den bentuk atau lebih tepat tanpa jiwa. Memang benar etnisitas dalam era globalisasi mengalami perubahanperubahan yang sangat drastis akibat mobilisasi penduduk dunia yang cepat dan terbuka. Bahkan telah lahir apa yang disebut budaya hybrid yaitu percampuran antara berbagai jenis budaya yang bagi perkembangan pribadi seorang anak kecil merupakan suatu masalah. Dapat dibayangkan misalnya dari keluarga hybrid seorang ayah dari Amerika dan seorang ibu dari Indonesia dan anaknya menjadi besar di salah satu Negara Eropa Barat. Putera-puteri dari keluarga ini akan dibesarkan di dalam kebudayaan hybrid. Apakah benar pribadi hybrid tersebut di dalam negara tanpa batas merupakan pribadi ideal di abad ke-21? Sementara pakar tidak seluruhnya menyetujui pendapat ini karena bagaimanapun juga manusia terikat pada kelompoknya. Nasionalisme merupakan gejala kehidupan modern akan tetap langgeng meskipun akan mempunyai bentuknya yang lain.
Di tengah-tengah arus globalisasi ternyata etnisitas masih tetap hidup. Bahkan ada pakar yang mengatakan bahwa gelombang perubahan global akan semakin berarti apabila tetap menonjolkan nilai-nilai lokal. Inilah apa yang disebut glokalisasi yang memberikan warna tertentu di dalam kehidupan global masa depan. Glokalisasi tidak menentang perubahan global tetapi juga tidak menghilangkan hakikat manusia yang terikat kepada masyarakat etnisnya. Keunikan etnis yang positif akan memberikan warna yang indah di dalam taman kehidupan global yang multietnis. Indonesia merupakan contoh yang sangat indah mengenai lahirnya kebudayaan nasional dari kebhinne-aan budaya etnis.
Keberhasilan pendidikan nasional Indonesia yang multietnis barangkali dapat dijadikan contoh di dalam dunia global yang mengakui eksistensi kebhinnekaan kebudayaan di planet dunia ini. Makna Nilai-nilai Etnis dalam Pembentukan Watak Baik Ralph Linton maupun Leon Vigotsky melihat betapa pentingnya interaksi kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian pesertadidik.
Ralph Linton menunjukkan bagaimana terbentuknya basic personality sebagai hasil interaksi dengan nilai-nilai di sekitarnya atau nilai-nilai budaya yang dikenal oleh anak manusia ketika dilahirkan. Leon Vigotsky menunjukkan terdapat lingkaran-lingkaran interaksi antara pribadi dengan lingkungannya yang semakin meluas atau ‘scape seperti “landscape” yang pertama yang sangat dekat yaitu ingkungan keluarga di mana dia dilahirkan. Budaya lokal sangat mempengaruhi tingkah-laku seorang peserta-didik, kebiasaan, adat-istiadat yang membentuk pribadinya yang pertama. Kemudian pada scape berikutnya peserta-didik mulai menghadapi lingkaran yang semakin tidak kedap (porous). Pada tahap inilah terjadi kemungkinan pembentukan yang lebih luas dari watak atau karakter peserta-didik.
Apabila pengaruh dari lust hanya terbatas atau didominasi dan diindoktrinasi oleh budaya lokalnya, maka pribadi yang terbentuk memiliki watak etnis yang terbatas. Namun apabila pengaruh lingkungan membuka pintu pikiran (ilmu pengetahuan dan teknologi) serta pintu hati (moral, agama) dengan dunia yang luas maka akan terbentuk watak atau karakter pribadi yang lebih luas dan lebih matang. Inilah yang dapat kita rebut pribadi yang memiliki karakter atau watak yang berbudaya dan berkeadaban.
Selanjutnya karena pribadi tersebut hidup di dalam dunia global yang terbuka maka dia dapat diterima di dalam pergaulan antarbangsa, pribadi yang dihormati dan saling menghormati di dalam kehidupan masyarakatnya dan masyarakat bangsa yang bermartabat.
Masyarakat Indonesia dewasa ini mengalami berbagai krisis antara lain krisis di dalam kehidupan beragama yang beragam. Timbul gejala-gejala yang apa yang disebut terorisme yaitu sikap kekerasan yang lahir dari fundamentalisme agama. Di dalam kaftan ini Prof. Azra35 menganjurkan agar supaya pendidikan anti-terorisme diajarkan di dalam lingkungan pendidikan seperti di pesantren.
Terorisme lahir karena kurangnya sikap toleransi terhadap perbedaan yang merupakan ciri dari suatu masyarakat plural dan multikultural seperti di Indonesia. Apabila setiap anggota masyarakat Indonesia mengakui akan kebhinnekaan masyarakat Indonesia maka terorisme yang ber-tujuan memaksakan kehendak kelompoknya atau kepentingan kelompoknya sendiri tidak akan terjadi.
Multikulturalisme yang lang-geng hanya dapat ditegakkan apabila sikap toleransi yang melahirkan tars percaya sehingga menghargai perbedaan dan melihatnya sebagai kekuatan hidup di dalam satu kelompok masyarakat atau bangsa. Salah satu masalah yang perlu mendapatkan prioritas di dalam pendidikan nasional dewasa ini ialah bagaimana membawa peserta-didik keluar dari lingkaran etnis yang kedap, dari sikap primordialisme kepada lahirnya karakter bangsa Indonesia yang menghargai adanya perbedaan. Inilah sikap demokratis yang merupakan tujuan pen-didikan nasional. Alangkah indahnya tujuan tersebut telah dirumus-kan di dalam undang-undang pendidikan pertama Republik Indonesia yang menyatakan tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia yang susila dan demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan tanah air.
Desentralisasi pendidikan nasional dewasa ini merupakan suatu modal besar dalam pengakuan terhadap etnisitas dan multikultural bangsa Indonesia tetapi juga memberikan tanggung jawab kepada daerah untuk ikut melahirkan karakter bangsa dari peserta-didik sebagai anggota masyarakat Indonesia yang multikultural dan bersatu.





[1] http://zavick.wordpress.com/ilmu-pengetahuan/antropologi/glokalisasi/
[4] http://sondis.blogspot.com/2013/03/glokalisasi-dan-pendidikan-yang.html
[5] http://sondis.blogspot.com/2013/03/glokalisasi-dan-pendidikan-yang.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar